28 Mei 2009

cerita tentang pigura...


Dari seluruh sisi kehidupan seorang Lulut Yekti Adi,(itu nama asliku!!!), tidak ada yang lebih menakutkan daripada ancaman D.O. (drop out) dari kampus Unnes.
Pagi itu adalah pagi terburuk selama hidupku. Ketika temenku Untung Kurniawan memberikan surat yang di tandatangani langsung oleh Pak Rektor, untuk kami berdua. Iya, untuk aku dan iPul. Kami memang kompak dalam segala hal. Seperti kata iPul, kami sudah bagaikan Abdel dan Temon. Sampe-sampe kuliah pun kompakan untuk sama-sama nyantai. Bayangin, 15 Semester bukan waktu yang sebentar untuk mendiami sebuah kampus di pinggiran semarang. Perubahan peradaban kampus pun telah kami alami. Dari mulai kampus yang masih becek, nggak ada ojek, sampai dengan kafe dengan free hot spot marak di mana-mana. Yang jelas kami pun mengalami sejarah terbesar kampus tersebut. Waktu kami masuk, kampus itu bernama IKIP SEMARANG. Setelah kami setahun di situ, tepatnya di tahun 2000, barulah kampus itu berubah nama menjadi UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG. Jadi kami memang produck IKIP.

Surat dari Bapak Ari Tri Sugito itu, berisi ancaman D.O untuk semua mahasiswa angkatan 1999 dan 2000, apabila tidak bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu satu semester lagi. Walaupun masih berbaik hati memberikan waktu satu semester, tapi bagi kami itu masih saja mengerikan. Lebih mengerikan dari pada film Jelangkung Ketemu Pocong Naek Kereta Api Hantu Manggarai.

Aku bingung. iPul pun bingung. Walau sebenarnya langkah kami menuju luluspun tinggal 30%. Aku dan iPul sama-sama mengambil Proyek Study sebagai pengganti Skripsi, karena di Jurusan kami (Seni Rupa & Desain) boleh memilih skripsi maupun proyek study (pameran karya seni). Aku mengambil tema Fotografi, itu sudah maksimal sekali dari apa yang aku bisa. Judulnya ”Ekspresi Anak-Anak dalam Karya Seni Fotografi”. Pengambilan karya pun sudah aku lakukan sejak tahun 2 tahun yang lalu. Cuma ntah kenapa rasa males-malesan lah yang selalu dominan sehingga aku selalu menunda-nunda untuk menyelesaikan kuliah. Aku juga nggak bisa membayangkan betapa sedihnya ibu dan bapak ku di rumah kalo tahu anaknya yang paling manis ini terancam di tendang dari kampus. (oooohhhhhhhh!!!!!)

Yang jelas mulai hari itu, aku dan iPul mendadak jadi rajin sekali ke kampus. Tiap hari menghadap dosen. Caci maki dari dosen pun kami terima dengan lapang dada. Adek-adek kelas yang jarang liat tampang kita pun memangdang dengan tatapan aneh. Aku sudah bisa nebak apa yang ada di pikiran mereka ”udah om-om kok masih ke kampus”. Tapi kami cuek aja. Demi masa depan!!.

Hari-hari aku lalui dengan bersemangat. Bersemangat banget malah. Bab demi bab laporan kami konsultasikan tak kenal waktu. Dari pagi-siang-sore-malam-pagi
lagi-siang lagi-malam lagi... kami datangi dosen pembimbing ku. Karya demi karya pun jadi berkat pertolongan dan bantuan dari teman-teman. Makhjudin Zein yang akrab di panggil Udin, dialah temen yang membantu penyelesaian karya-karya foto ku. Bahkan Udin lah guru Fotografiku. Aku mengenal dan belajar mencintai Fotografi dari seorang Udin. Teng kyu Bro!!!

Bulan September tiba. Semua Bab telah terselesaikan.Pak Ruswondho sebagai dosen pembimbingku sangat-sangat membantu dan mempermudah ku. Aku yakin suatu saat Allah akan membalas semua budi baiknya. Tinggal satu step lagi yang harus aku lewati. Pameran. Bukan pameran Charles maupun Pameran Diponegoro. Tapi Pameran Karya Fotografi ku. Karya sudah siap. Hanya tinggal satu hal yang masih jadi beban pikiran ku. Setahun yang lalu aku udah memesan Bingkai atau Pigura di tempat pak Pri. Tapi sampai hari ini belum juga aku ambil. Alasanya hanya satu. Duitku habis. Untuk nyetak karya, untuk foto kopi dan jilid, untuk segala hal yang berhubungan dengan pameran. Aku bingung. Bingung banget malah.

Malem itu aku bingung sendirian. Aku lihat iPul masih tenang-tenang aja. Dia seakan-akan tidak mau tahu akan kebingunganku. Dia cuek aja melihat sahabatnya kelabakan nggak punya duit untuk mengambil pigura. Waktu Pameran tinggal dua hari lagi. Itu artinya, besok semua karya harus sudah di kemas dan di pasang di ruang pamer.

Tanpa menghiraukan iPul yang sedang asyik nonton tipi, malam itu aku pergi ke tempat saudaraku di daerah Ungaran, berniat untuk meminjam duit. Dengan motor Honda Astrea Grand th ’97 ‘soulmate” ku, aku pun menyusuri jalan dengan perasaan gundah gulana putra petir. (he he he, itu mah gundala putra petir). Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, kembali aku harus kecewa bukan buatan. Saudaraku ternyata lagi nggak ada di rumah. Mereka sekeluarga sedang pulang kampung ke Banjarnegara. Kembali aku bingung. Aku putuskan untuk ke rumah temenku Lilik Noviarto, yang dua hari lagi juga akan Pameran bersamaku. Di rumah Lilik di daerah Tlogosari, aku lihat dia tengah mengemas karya. Rona kecapekan aku lihat di wajah anak itu. Sebelum aku mengutarakan maksudku untuk meminjam duit untuk mengambil Pigura, Lilik lebih dulu curhat ke aku, tentang kebingungan dirinya menghadapi pameran besok. Karena untuk mengadakan event pameran juga di perlukan duit yang tidak sedikit. Aku pun mengurungkan niatku untuk meminjam duit. Sempat aku berpikir untuk minta lagi ke Ibu ku, atau minjam ke kakakku, tapi aku sudah terlanjur terlalu banyak membebani mereka, karena semua biaya persiapan pameran pun aku sudah banyak meminta dari mereka....

Malam itu, dengan perasaan yang tidak bisa aku bayangkan aku pulang ke kost ku di daerah Veteran. Sesak sekali dada ini rasanya. Membayangkan apa yang aku lakukan besok. Waktu yang tidak mau kompromi bahkan untuk satu detikpun, terus saja berjalan. Aku merasakan dunia ini seakan-akan menjadi padang pasir yang sangat luas. Di situ tidak aku temui seorangpun yang mau membantu. Kelulusan yang sudah ada di depan mata, terancam hilang hanya karena gagal berpameran. Hatiku sudah mendahului menangis. Wajah lembut ibu ku terus terbayang di hadapanku. Aku tidak mau wajah yang tersenyum itu berubah jadi kesedihan. Aku sayang sekali sama ibu ku....dan aku sedih....

Sampainya di kost, aku lihat kamar sudah gelap. Tandanya iPul, teman satu kamarku sudah lelap tertidur. Aku masuk pelan ke kamar, dan menghidupkan lampu. Betapa terkejutnya aku ketika di dekat pintu kamar tergeletak 16 buah pigura yang aku pesan dari tempat pak Pri. Semua sudah jadi dan siap mengemas 16 karya Fotografiku. Adalah Ikhwan Saefulloh alias iPul, teman yang tadi sempat aku anggap tidak mau tahu urusanku, ternyata dia tanpa sepengetahuanku membantuku mengambil kan pigura itu. Semua di lakukannya semata-mata ingin membantuku. Aku menyesal telah berburuk sangka padanya...

Aku tidak bisa menerjemahkan perasanku pada saat itu. Air mata ku meleleh pelan tanpa aku sadari. Aku menatap iPul yang tengah tertidur lelap dengan posisi pistol (meringkuk) andalanya. Ingin rasanya aku memeluknya. Seperti itulah sahabat yang sesungguhnya.

”Pul, aku Yakin, Allah pasti akan memberikan semua yang terbaik untukmu.....”

1 komentar:

  1. lut..aku mbaca tulisan ini melu nangis......weh jan ....nangis tenan

    BalasHapus