Malem itu pukul 2 dini hari. Aku pacu sepeda motor Yamaha L2 superku dengan kencang. Tidak peduli akan jalanan yang terjal dan berbatu. Di belakangku membonceng seorang nenek ”dukun bayi” yang baru aku panggil. Nini Roji namanya. Dia dulu juga yang membantu dua anakku sebelumnya. Teguh dan Udi. Dan sekarang, istriku akan melahirkan anak ketiga ku. Aku cemas, cemas banget malah...
Sampainya di depan rumah, aku standarkan motorku, dan bergegas menuju kamar di mana istriku sudah memanggil-manggil. Nini roji masuk kamar bersama ibu mertuaku. Dan aku menunggu di luar. Walaupun ini kelahiran anak ke 3, aku tetep aja se cemas waktu istriku melahirkan Teguh 6 tahun yang lalu. Aku duduk bengong di depan rumah sambil menghisap dalam-dalam rokok Djarum 76 ku. Beberapa tetangga yang datang mencoba menyapa dan menenangkanku. Aku pun tersenyum ke mereka. Senyum kecut yang setengah di paksakan.
Aku beranjak menuju kamar kedua anakku. Aku duduk di tepi ranjang mereka. Udi berumur 3 tahun dan Teguh berumur 6 tahun. Aku lihat mereka tertidur lelap sekali. Memancarkan kepolosan. Aku sudah mempunyai 2 anak cowok, aku berharap yang ke 3 lahir cewek. Tapi apapun yang Kau berikan, aku tetep mensyukurinya ya Allah.
Aku menatap kalender yang terpasang di dinding kamar anakku. Hari ini Senin Legi, tanggal 1 Desember 1980. seperti terencana sekali. Selisih antara 3 anakku sama, 3 tahun. Aku mencoba tersenyum karena aku ternyata bisa merencanakan dengan baik.
Aku kembali ke luar kamar. Mencoba ngobrol-ngobrol ama kakak-kakak iparku. Dari dalam kamar masih terdengan istriku tengah berjuang melawan maut. Aku terus saja berdoa dalam hati.
Jam 03.30, tiba-tiba terdengan suara tangis bayi memecah keheningan. Aku segera menuju ke kamar. Baru sampai di depan pintu, dari dalam keluar ibu mertuaku diiringi oleh Nini Roji yang menggendong bayi mungil sambil tersenyum.
”Cowok lagi, To....” kata ibu mertuaku.
”Alhamdulllah ya Allah....!!” kataku.
Aku tersenyum girang, aku liat bayi yang masih dalam gendongan Nini Roji. Hmmm, jagoanku yang ini agak beda dengan kakak-kakaknya. Kakak-kakaknya putih, yang ini kulitnya agak gelap. Gak papa, dia tetep anakku. Nantinya akan jadi cowok manies!!!
Aku segera masuk ke kamar. Aku lihat istriku masih berbaring di kamar. Melihatku masuk, dia langsung mengembangkan senyum. Subhanallah, cantik sekali dia. Tak ada rona kesakitan maupun kelelahan di wajahnya. Yang ada hanya kebahagiaan. Kebahagiaan dia, kebahagiaan kita. Aku cium lembut keningnya. Aku bisikkan ke telinganya, kalo anak kita cowok lagi. Dia kembali tersenyum. Maniez sekali...
Pagi hari setelah sholat Subuh, aku pergi menuju kali dengan membawa ”ari-ari” atau potongan pusar anakku, serta kain-kain jarik penuh darah istriku untuk aku cuci. Di tempatku emang begitu tradisinya. Kalo istrinya melahirkan, maka suaminya yang mencuci darah di kain yang buat melahirkan.
Sesampainya di tepi sungai kecil tapi deras airnya, sambil aku pegang kendil berisi ari-ari anak ”lanang” ku, aku berdoa pada Allah, semoga anakku kelak jadi anak yang soleh, Tangguh, pemberani, dan manis.....(he he he). Kemudian aku lempar kendil itu, dan aku tunggu sampai hilang dari penglihatan. Dan aku tersenyum puas...
Sepulang dari kali, aku melihat istriku sedang tertidur, dan anakku yang baru lahir juga sedang tertidur di sisinya. Kedua anakku Teguh dan Udi, duduk manis di sebelahnya sedang nungguin adeknya. Aku menuju kamar anakku dan tertidur di sana.
Tiga hari setelah kelahiran anakku, aku masih larut dalam kebahagiaan. Banyak saudara yang datang. Bapak-ibuku juga datang dari Sigaluh.
”Mau dikasih nama siapa anakmu??” tanya bapakku.
Tiba-tiba aku tersadar. Tiga hari ini aku hanya memikirkan kebahagiaanku mempunyai anak laki-laki yang ke 3 kalinya, tanpa pernah memikirkan nama untuk dia. Sebelum lahir, memang aku dan istriku, sering membicarakannya. Tapi kami hanya mencari nama untuk perempuan!! Karena banyak yang mampunyai firasat kalo anak kami yang akan lahir adalah perempuan. Waktu hamil, istriku nampak lebih cantik daripada sebelumnya. Orang-orang bilang kalo orang hamil tampak lebih cantik, maka anaknya akan lahir perempuan. Akupun percaya-percaya saja. Makanya aku selalu mencarikan nama untuk anak perempuan. Tapi pertanyaan bapakku tadi benar-benar menyadarkanku.
Aku menjawab, ”Belum tahu, pak.”
Ayahku tersenyum. Dari baju batik andalannya dia mengeluarkan sebuah kertas dan diberikanya padaku. Di situ tercantum beberapa nama :
WALUYO
WIDODO,
SANTOSO,
SUBAGYO,
SUKARNO,
BAMBANG,
Aku mengamati dengan saksama nama-nama yang diajukan oleh ayahku, bagaikan presiden SBY tengah mengamati nama-nama calon Wapres yang di ajukan oleh beberapa partai. He he he . Aku merasa nama itu sudah lewat jamannya. Udah gak update lagi di jaman sekarang. Kakaknya yang pertama memang dulu bapakku yang memberikan nama, Teguh Riyanto. Tapi yang kedua aku yang nyari nama sendiri, Udi Prasetya. Dan sekarang, masa sih akan kembali menggunakan nama sederhana seperti itu? Tapi bagus juga sih, kalo belakangnya di kasih embel-embel ”Suprapto Putra”....
Aku bilang pada bapakku kalo nanti akan aku pertimbangkan lagi. Bapak pun bilang, ”Kalo ada yang lebih baik, ya silahkan aja, gue mah ngikut lo aja...” He he he, gitu kalo pake basa gaulnya.
Hari-hari selanjutnya aku sibuk mikirin nama buat anakku. Waktu sudah hampir deadline aku belum juga dapat. Acara Puputan tinggal 2 hari lagi. Aku sudah harus punya nama yang indah buat anakku. Aku pun menuju ke rumah kakak iparku yang ada di Wonosobo. Mas Karyono namanya. Dia orang seni, dan punya banyak koleksi buku-buku jawa. Di sana aku sibuk mencari kata-kata yang indah yang bisa di sematkan pada anakku. Aku pinjam beberapa buku untuk aku bawa pulang. Diantaranya adalah ”Babad Tanah Jawi”. (asal Usul Tanah Jawa)
Malem itu aku baca buku kuno yang tebal itu sambil nungguin anakku tidur. Sesekali aku melihat wajah polosnya. Manis banget. Bibirnya, matanya, hidungnya sudah kelihatan agak mancung.....tar gedhenya pasti akan banyak cewek yang suka...he he he.
Pagi-pagi istriku membangunkanku. Tenyata aku tertidur sambil memegangi buku itu. Semalem hampir selesai aku baca, dan aku sudah menemukan nama yang pas untuk anakku. Di buku itu ada nama seorang begawan, dan juga sastrawan yang mempunyai sifat-sifat sangat terpuji. Mungkin nama belakang begawan itu cocok untuk di kasihkan sebagai nama belakang anakku. Aku segera mengambil kamus bahasa jawa milik mas karyono, dan aku cari nama-nama yang cocok sebagai nama depanya. Aku tersenyum ketika menemukan sebuah kata yang bagus. Artinya pun baik. Dan yang jelas, jarang ada yang menyamain nama itu nantinya.
Aku segera ambil pena dan selembar kertas. Aku tuliskan sebuah nama di situ. Aku membacanya lagi, dan akupun tersenyum puas. Istriku datang menghampiriku, seperti biasa dengan senyum terindahnya.
”Udah dapet namanya, mas?” tanyanya padaku.
Aku cuma jawab dengan senyuman, yang tak kalah manis. Aku kasihkan kertas itu pada istriku. Dan.... istriku membacanya pelan..
”Lulut Yekti Adi.....”
Kemudian dia memandangku penuh rasa sayang. Dia percaya padaku tanpa harus menanyakan apa artinya. Kamipun berpelukan seperti teletubies...
***
Aku terdiam. Begitulah ayahku mengakhiri cerita kelahiranku. Dia menyeruput kopi originalnya, kemudian meninggalkanku seorang diri......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar