Ini masih ceritaku bersama si ganteng Ikhwan Saefulloh atau iPul. Masih inget kan? Jadi gak perlu aku ceritain ulang tentang siapa temen aku yang satu itu. Dulu aku dan iPul kost dalam satu tempat yang sama. Pemilik kost itu bernama ”mbah Yem”. Udah tua orangnya (ya iyya lah, panggilannya aja mbah) dan cerewetnya melebihi umurnya. Tiada hari tanpa ngomel-ngomel. Dari hal kecil sampe hal yang gedhe semua di omelin. Dari mulai mandi yang ngabis-ngabisin aer, sampe pulang agak malem sedikit, selalu aja di omelin.
Yang nggak masuk akal, suatu hari di depan pintu kamarku tergeletak ”suntikan” bekas Refil Printer.(dataprint). Demi melihat benda seperti itu, mbah yem langsung mencak-mencak.
”siapa pake Narkoba di kost ini??? ayo jawab?? Narkoba itu di larang agama? Apa lagi maen suntik-suntikan segala!!” teriak mbah yem membabi buta. Aku sama iPul yang sedang di dalam kamar pun keluar melihat apa yang terjadi. Ternyata Mbah Yem tengah mencak-mencak sambil mengacung-acungkan suntikan bekas isi ulang printer. Demi melihat itu, aku dan iPul tidak bisa menahan tawa. Kami pun tertawa terbahak-bahak. Mana ada sih, narkoba pake suntikan sebesar itu??warna hitam pula...he he he he
Begitulah mbah Yem, biar suka ngomel dan cerewet, sesungguhnya dia amat sangat baik hati. Kalo dia ada makanan lebih, pasti kita di kasih. Sisanya maksudnya…ha ha ha ha…(ampun mbah….)
Di kost mbah Yem, kita berdua berkenalan dengan si Putri. Sebuah sepeda motor Suzuki A100, ntah tahun brapa. Mungkin 80an. He he he, seumuranku. Bahkan mungkin lebih tua. (satu hal yang sama denganku,dia juga belum kawin!!!)ha ha ha
Si Putri berwarna hitam legam. Bener-bener tidak sesuai dengan namanya. Shokbreaker belakangnya sudah tidak ada per nya sama sekali. Kalo naik si Putri, siap-siap aja sakit perut. Slebor depan juga entah dimana sehingga memperlihatkan dengan jelas ban depan yang sudah gundul. Jadi apa bila jalan di jalanan yang becek, maka airnya muncrat-muncrat sampe ke muka.
Temenku Nanang Budianto yang memberi julukan motor itu ”si Putri”. Kenapa si Putri???, karena eh karena motor itu mempunyai kecepatan maksimal 40 km / jam. Itu pun kalo dengan kecepatan maksimal sudah bergetar semua, seakan-akan spear part nya mau mencelat semua. Karena jalannya yang pelan seperti ”putri solo’, maka Nanang memberi nama motor itu ”si Putri”. Dan kitapun sepakat dengan nama itu. Saking pelannya jalan si Putri, pernah suatu hari aku dan iPul yang memang kuliah satu jurusan, (Seni Rupa & Desain UNNES), waktu itu ada kuliah pagi. Karena nggak ada motor lain di situ, maka kita berdua sepakat bawa si Putri. Dari mulai awal saja, si Putri sudah nampak males-malesan mengantar kami kuliah. Kami harus bercucuran keringat untuk nyetaternya. Tapi tak lama kemudian akhirnya bisa jalan juga. Tapi ya itu. Pelaaaan banget. Sesampainya di kampus, betapa kagetnya kami berdua, ternyata kuliah sudah selesai setengah jam yang lalu.he he he Kami juga nggak habis pikir, betapa lambannya si Putri.
Rumah mbah Yem tempat kami indekost ada di daerah Sampangan Semarang. Sekitar 7 Km dari kampusku. UNNES tersayang. Tapi dari arah Sampangan ke kampus, jalannya naek-naek ke puncak gunung, dan tinggi-tinggi sekali.ha ha ha... Melewati jalan menanjak sepanjang 5 km. Kalo naek motor normal atau naek angkot Cuma memerlukan waktu paling lama 20 menit. Tapi dengan si Putri, terbukti 2 jam kita baru nyampe. Cape deh....
Si Putri sebenarnya adalah milik dari temen kosku, namanya Doni. Tapi nggak tahu kenapa si Doni sendiri enggan banget menggunakan si Putri. Dia lebih suka kemana-mana naek mobil Suzuki Katana nya. (ya jelas lah!!). Jadi si Putri cuma tergeletak lesu di sudut garasi mengharap ada yang menjamahnya. He he he kayak jablay ajah. Karena aku dan iPul nggak ada sarana transportasi lain, maka si Putri walaupun sering merepotkan, tetep kami manfaatkan dengan sepenuh jiwa dan raga.
Malem itu aku dan iPul ada acara di kampus. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah pinjem kendaraan ‘normal’ kesana-kesini nggak dapet, akhirnya aku dan iPul sepakat memaksa siPutri untuk mengantar kami. Sebenarnya kami juga nggak tega melihat siPutri, apa lagi putri harus berjalan menanjak 5 km dengan membawa kami berdua. Tapi karena kita sudah terpaksa banget akhirnya mau tidak mau hanya siPutri lah yang bisa menolong kita.
Aku yang di depan, dan iPul membonceng dengan mesranya. He he he. Kami berjalan pelan-pelan bagaikan sangat menikmati perjalanan. Padahal emang si Putri yang nggak bisa cepet. Ketika jalan mulai naik di daerah Dewi Sartika, kami berdua berdo’a bersama.
”ya Allah kuatkanlah si putri menghadapi cobaan ini.....Amiin..”
Pelan-pelan kami dan si Putri mulai merayap naik. iPul tanpa henti-hentinya berdoa, dan sesekali memberi semangat padaku. Sampai di perumahan ”Puri Sartika” satu tahap sudah terlewati. Masih ada tanjakan lagi, dan lebih curam kemiringanya.
Ketika tanjakan tinggal menyisakan 100 meter lagi, tepatnya di daerah Trangkil, ternyata apa yang aku takutkan terjadi juga. Si Putri menunjukan tanda-tanda mau ngambek. Aku paksa menarik gas lagi, tapi si putri benar-benar mati. Kemudian sunyi. Jalan di daerah Trangkil memang sepi. Apa lagi waktu sudah sekitar jam 9 malam. Kami berdua bingung, haruskah melanjutkan perjalanan yang tinggal sa’iprit, ataukah kembali pulang ke bawah dengan di ”gelinding” kan. Akhirnya kami sepakat untuk menuntun si Putri sampe dengan jalan yang datar. Karena di dekat kampus memang ada bengkel. Aku nuntun di depan, dan iPul mendorong di belakang. Karena jalan menanjak yang lumayan curam, kamipun merasa bagaikan menyeret si gendut ”preti asmara”. Pegel, capek, ngilu, lemes, haus bercampur jadi satu. Kamipun bergantian. Gantian aku yang mendorongnya, dan iPul yang menuntun si Putri.
Dengan bermandikan keringat, sampe juga kami berdua di jalan yang datar. Nafas kami benar-benar tersengal-sengal. Apalagi iPul, karna dia perokok berat. Karena siPutri tidak punya standard buat penyangganya, maka kami biarkan siPutri tergeletak dengan manja di pinggir jalan. karena saking capeknya, serta mata yang berkunang-kunang, maka kami rebahan di jalan yang sepi itu. Beberapa motor dari arah bawah lewat, sempat melihat kami, tapi terus melanjutkan lagi perjalanan. Kita berdua cuek aja, karena memang masih capek banget.
Kita nggak nyadar kalo ke”cuek”an kami membawa mala petaka buat kami. Tanpa kami sadari, dari arah kampus, ada banyak sekali orang datang menuju tempat kami. Heboh dan rame banget. Kami pun bingung ada apa gerangan.
”mana korban tabrak lari nya?” salah satu orang yang menghampiri kami bicara seperti itu.
Mereka pun pada ngerubungi kami yang duduk sambil kebingungan.
Rupanya tadi orang yang melihat kami berbaring di jalan, serta lihat posisi si Putri yang tanpa standard mengira kami adalah korban kecelakaan, dan memanggil orang-orang kampung. Setelah tahu kalo ternyata kami bukan korban tabrak lari, mereka merasa tertipu, mereka rame-rame menghujat kami. Menganggap kami penipu. Bahkan kami sempet mau di massa..(wuih...serem banget) untung saja kemudian muncul orang-orang kampung yang merupakan teman-teman kami dari arah kampus, merekapun menjelaskan semuanya.
Kemudian orang-orang itu membubarkan diri. Sambil terus ngomel-ngomel seperti mbah Yem.
Aku dan iPul pun saling berpandangan, kemudian mata kami bersamaan melihat si Putri yang di pandangan kami berdua seakan-akan tengah tersenyum puas karena berhasil ngerjain kita.
Semua gara-raga si Putri.....
05 Juni 2009
senin legi...
Malem itu pukul 2 dini hari. Aku pacu sepeda motor Yamaha L2 superku dengan kencang. Tidak peduli akan jalanan yang terjal dan berbatu. Di belakangku membonceng seorang nenek ”dukun bayi” yang baru aku panggil. Nini Roji namanya. Dia dulu juga yang membantu dua anakku sebelumnya. Teguh dan Udi. Dan sekarang, istriku akan melahirkan anak ketiga ku. Aku cemas, cemas banget malah...
Sampainya di depan rumah, aku standarkan motorku, dan bergegas menuju kamar di mana istriku sudah memanggil-manggil. Nini roji masuk kamar bersama ibu mertuaku. Dan aku menunggu di luar. Walaupun ini kelahiran anak ke 3, aku tetep aja se cemas waktu istriku melahirkan Teguh 6 tahun yang lalu. Aku duduk bengong di depan rumah sambil menghisap dalam-dalam rokok Djarum 76 ku. Beberapa tetangga yang datang mencoba menyapa dan menenangkanku. Aku pun tersenyum ke mereka. Senyum kecut yang setengah di paksakan.
Aku beranjak menuju kamar kedua anakku. Aku duduk di tepi ranjang mereka. Udi berumur 3 tahun dan Teguh berumur 6 tahun. Aku lihat mereka tertidur lelap sekali. Memancarkan kepolosan. Aku sudah mempunyai 2 anak cowok, aku berharap yang ke 3 lahir cewek. Tapi apapun yang Kau berikan, aku tetep mensyukurinya ya Allah.
Aku menatap kalender yang terpasang di dinding kamar anakku. Hari ini Senin Legi, tanggal 1 Desember 1980. seperti terencana sekali. Selisih antara 3 anakku sama, 3 tahun. Aku mencoba tersenyum karena aku ternyata bisa merencanakan dengan baik.
Aku kembali ke luar kamar. Mencoba ngobrol-ngobrol ama kakak-kakak iparku. Dari dalam kamar masih terdengan istriku tengah berjuang melawan maut. Aku terus saja berdoa dalam hati.
Jam 03.30, tiba-tiba terdengan suara tangis bayi memecah keheningan. Aku segera menuju ke kamar. Baru sampai di depan pintu, dari dalam keluar ibu mertuaku diiringi oleh Nini Roji yang menggendong bayi mungil sambil tersenyum.
”Cowok lagi, To....” kata ibu mertuaku.
”Alhamdulllah ya Allah....!!” kataku.
Aku tersenyum girang, aku liat bayi yang masih dalam gendongan Nini Roji. Hmmm, jagoanku yang ini agak beda dengan kakak-kakaknya. Kakak-kakaknya putih, yang ini kulitnya agak gelap. Gak papa, dia tetep anakku. Nantinya akan jadi cowok manies!!!
Aku segera masuk ke kamar. Aku lihat istriku masih berbaring di kamar. Melihatku masuk, dia langsung mengembangkan senyum. Subhanallah, cantik sekali dia. Tak ada rona kesakitan maupun kelelahan di wajahnya. Yang ada hanya kebahagiaan. Kebahagiaan dia, kebahagiaan kita. Aku cium lembut keningnya. Aku bisikkan ke telinganya, kalo anak kita cowok lagi. Dia kembali tersenyum. Maniez sekali...
Pagi hari setelah sholat Subuh, aku pergi menuju kali dengan membawa ”ari-ari” atau potongan pusar anakku, serta kain-kain jarik penuh darah istriku untuk aku cuci. Di tempatku emang begitu tradisinya. Kalo istrinya melahirkan, maka suaminya yang mencuci darah di kain yang buat melahirkan.
Sesampainya di tepi sungai kecil tapi deras airnya, sambil aku pegang kendil berisi ari-ari anak ”lanang” ku, aku berdoa pada Allah, semoga anakku kelak jadi anak yang soleh, Tangguh, pemberani, dan manis.....(he he he). Kemudian aku lempar kendil itu, dan aku tunggu sampai hilang dari penglihatan. Dan aku tersenyum puas...
Sepulang dari kali, aku melihat istriku sedang tertidur, dan anakku yang baru lahir juga sedang tertidur di sisinya. Kedua anakku Teguh dan Udi, duduk manis di sebelahnya sedang nungguin adeknya. Aku menuju kamar anakku dan tertidur di sana.
Tiga hari setelah kelahiran anakku, aku masih larut dalam kebahagiaan. Banyak saudara yang datang. Bapak-ibuku juga datang dari Sigaluh.
”Mau dikasih nama siapa anakmu??” tanya bapakku.
Tiba-tiba aku tersadar. Tiga hari ini aku hanya memikirkan kebahagiaanku mempunyai anak laki-laki yang ke 3 kalinya, tanpa pernah memikirkan nama untuk dia. Sebelum lahir, memang aku dan istriku, sering membicarakannya. Tapi kami hanya mencari nama untuk perempuan!! Karena banyak yang mampunyai firasat kalo anak kami yang akan lahir adalah perempuan. Waktu hamil, istriku nampak lebih cantik daripada sebelumnya. Orang-orang bilang kalo orang hamil tampak lebih cantik, maka anaknya akan lahir perempuan. Akupun percaya-percaya saja. Makanya aku selalu mencarikan nama untuk anak perempuan. Tapi pertanyaan bapakku tadi benar-benar menyadarkanku.
Aku menjawab, ”Belum tahu, pak.”
Ayahku tersenyum. Dari baju batik andalannya dia mengeluarkan sebuah kertas dan diberikanya padaku. Di situ tercantum beberapa nama :
WALUYO
WIDODO,
SANTOSO,
SUBAGYO,
SUKARNO,
BAMBANG,
Aku mengamati dengan saksama nama-nama yang diajukan oleh ayahku, bagaikan presiden SBY tengah mengamati nama-nama calon Wapres yang di ajukan oleh beberapa partai. He he he . Aku merasa nama itu sudah lewat jamannya. Udah gak update lagi di jaman sekarang. Kakaknya yang pertama memang dulu bapakku yang memberikan nama, Teguh Riyanto. Tapi yang kedua aku yang nyari nama sendiri, Udi Prasetya. Dan sekarang, masa sih akan kembali menggunakan nama sederhana seperti itu? Tapi bagus juga sih, kalo belakangnya di kasih embel-embel ”Suprapto Putra”....
Aku bilang pada bapakku kalo nanti akan aku pertimbangkan lagi. Bapak pun bilang, ”Kalo ada yang lebih baik, ya silahkan aja, gue mah ngikut lo aja...” He he he, gitu kalo pake basa gaulnya.
Hari-hari selanjutnya aku sibuk mikirin nama buat anakku. Waktu sudah hampir deadline aku belum juga dapat. Acara Puputan tinggal 2 hari lagi. Aku sudah harus punya nama yang indah buat anakku. Aku pun menuju ke rumah kakak iparku yang ada di Wonosobo. Mas Karyono namanya. Dia orang seni, dan punya banyak koleksi buku-buku jawa. Di sana aku sibuk mencari kata-kata yang indah yang bisa di sematkan pada anakku. Aku pinjam beberapa buku untuk aku bawa pulang. Diantaranya adalah ”Babad Tanah Jawi”. (asal Usul Tanah Jawa)
Malem itu aku baca buku kuno yang tebal itu sambil nungguin anakku tidur. Sesekali aku melihat wajah polosnya. Manis banget. Bibirnya, matanya, hidungnya sudah kelihatan agak mancung.....tar gedhenya pasti akan banyak cewek yang suka...he he he.
Pagi-pagi istriku membangunkanku. Tenyata aku tertidur sambil memegangi buku itu. Semalem hampir selesai aku baca, dan aku sudah menemukan nama yang pas untuk anakku. Di buku itu ada nama seorang begawan, dan juga sastrawan yang mempunyai sifat-sifat sangat terpuji. Mungkin nama belakang begawan itu cocok untuk di kasihkan sebagai nama belakang anakku. Aku segera mengambil kamus bahasa jawa milik mas karyono, dan aku cari nama-nama yang cocok sebagai nama depanya. Aku tersenyum ketika menemukan sebuah kata yang bagus. Artinya pun baik. Dan yang jelas, jarang ada yang menyamain nama itu nantinya.
Aku segera ambil pena dan selembar kertas. Aku tuliskan sebuah nama di situ. Aku membacanya lagi, dan akupun tersenyum puas. Istriku datang menghampiriku, seperti biasa dengan senyum terindahnya.
”Udah dapet namanya, mas?” tanyanya padaku.
Aku cuma jawab dengan senyuman, yang tak kalah manis. Aku kasihkan kertas itu pada istriku. Dan.... istriku membacanya pelan..
”Lulut Yekti Adi.....”
Kemudian dia memandangku penuh rasa sayang. Dia percaya padaku tanpa harus menanyakan apa artinya. Kamipun berpelukan seperti teletubies...
***
Aku terdiam. Begitulah ayahku mengakhiri cerita kelahiranku. Dia menyeruput kopi originalnya, kemudian meninggalkanku seorang diri......
Sampainya di depan rumah, aku standarkan motorku, dan bergegas menuju kamar di mana istriku sudah memanggil-manggil. Nini roji masuk kamar bersama ibu mertuaku. Dan aku menunggu di luar. Walaupun ini kelahiran anak ke 3, aku tetep aja se cemas waktu istriku melahirkan Teguh 6 tahun yang lalu. Aku duduk bengong di depan rumah sambil menghisap dalam-dalam rokok Djarum 76 ku. Beberapa tetangga yang datang mencoba menyapa dan menenangkanku. Aku pun tersenyum ke mereka. Senyum kecut yang setengah di paksakan.
Aku beranjak menuju kamar kedua anakku. Aku duduk di tepi ranjang mereka. Udi berumur 3 tahun dan Teguh berumur 6 tahun. Aku lihat mereka tertidur lelap sekali. Memancarkan kepolosan. Aku sudah mempunyai 2 anak cowok, aku berharap yang ke 3 lahir cewek. Tapi apapun yang Kau berikan, aku tetep mensyukurinya ya Allah.
Aku menatap kalender yang terpasang di dinding kamar anakku. Hari ini Senin Legi, tanggal 1 Desember 1980. seperti terencana sekali. Selisih antara 3 anakku sama, 3 tahun. Aku mencoba tersenyum karena aku ternyata bisa merencanakan dengan baik.
Aku kembali ke luar kamar. Mencoba ngobrol-ngobrol ama kakak-kakak iparku. Dari dalam kamar masih terdengan istriku tengah berjuang melawan maut. Aku terus saja berdoa dalam hati.
Jam 03.30, tiba-tiba terdengan suara tangis bayi memecah keheningan. Aku segera menuju ke kamar. Baru sampai di depan pintu, dari dalam keluar ibu mertuaku diiringi oleh Nini Roji yang menggendong bayi mungil sambil tersenyum.
”Cowok lagi, To....” kata ibu mertuaku.
”Alhamdulllah ya Allah....!!” kataku.
Aku tersenyum girang, aku liat bayi yang masih dalam gendongan Nini Roji. Hmmm, jagoanku yang ini agak beda dengan kakak-kakaknya. Kakak-kakaknya putih, yang ini kulitnya agak gelap. Gak papa, dia tetep anakku. Nantinya akan jadi cowok manies!!!
Aku segera masuk ke kamar. Aku lihat istriku masih berbaring di kamar. Melihatku masuk, dia langsung mengembangkan senyum. Subhanallah, cantik sekali dia. Tak ada rona kesakitan maupun kelelahan di wajahnya. Yang ada hanya kebahagiaan. Kebahagiaan dia, kebahagiaan kita. Aku cium lembut keningnya. Aku bisikkan ke telinganya, kalo anak kita cowok lagi. Dia kembali tersenyum. Maniez sekali...
Pagi hari setelah sholat Subuh, aku pergi menuju kali dengan membawa ”ari-ari” atau potongan pusar anakku, serta kain-kain jarik penuh darah istriku untuk aku cuci. Di tempatku emang begitu tradisinya. Kalo istrinya melahirkan, maka suaminya yang mencuci darah di kain yang buat melahirkan.
Sesampainya di tepi sungai kecil tapi deras airnya, sambil aku pegang kendil berisi ari-ari anak ”lanang” ku, aku berdoa pada Allah, semoga anakku kelak jadi anak yang soleh, Tangguh, pemberani, dan manis.....(he he he). Kemudian aku lempar kendil itu, dan aku tunggu sampai hilang dari penglihatan. Dan aku tersenyum puas...
Sepulang dari kali, aku melihat istriku sedang tertidur, dan anakku yang baru lahir juga sedang tertidur di sisinya. Kedua anakku Teguh dan Udi, duduk manis di sebelahnya sedang nungguin adeknya. Aku menuju kamar anakku dan tertidur di sana.
Tiga hari setelah kelahiran anakku, aku masih larut dalam kebahagiaan. Banyak saudara yang datang. Bapak-ibuku juga datang dari Sigaluh.
”Mau dikasih nama siapa anakmu??” tanya bapakku.
Tiba-tiba aku tersadar. Tiga hari ini aku hanya memikirkan kebahagiaanku mempunyai anak laki-laki yang ke 3 kalinya, tanpa pernah memikirkan nama untuk dia. Sebelum lahir, memang aku dan istriku, sering membicarakannya. Tapi kami hanya mencari nama untuk perempuan!! Karena banyak yang mampunyai firasat kalo anak kami yang akan lahir adalah perempuan. Waktu hamil, istriku nampak lebih cantik daripada sebelumnya. Orang-orang bilang kalo orang hamil tampak lebih cantik, maka anaknya akan lahir perempuan. Akupun percaya-percaya saja. Makanya aku selalu mencarikan nama untuk anak perempuan. Tapi pertanyaan bapakku tadi benar-benar menyadarkanku.
Aku menjawab, ”Belum tahu, pak.”
Ayahku tersenyum. Dari baju batik andalannya dia mengeluarkan sebuah kertas dan diberikanya padaku. Di situ tercantum beberapa nama :
WALUYO
WIDODO,
SANTOSO,
SUBAGYO,
SUKARNO,
BAMBANG,
Aku mengamati dengan saksama nama-nama yang diajukan oleh ayahku, bagaikan presiden SBY tengah mengamati nama-nama calon Wapres yang di ajukan oleh beberapa partai. He he he . Aku merasa nama itu sudah lewat jamannya. Udah gak update lagi di jaman sekarang. Kakaknya yang pertama memang dulu bapakku yang memberikan nama, Teguh Riyanto. Tapi yang kedua aku yang nyari nama sendiri, Udi Prasetya. Dan sekarang, masa sih akan kembali menggunakan nama sederhana seperti itu? Tapi bagus juga sih, kalo belakangnya di kasih embel-embel ”Suprapto Putra”....
Aku bilang pada bapakku kalo nanti akan aku pertimbangkan lagi. Bapak pun bilang, ”Kalo ada yang lebih baik, ya silahkan aja, gue mah ngikut lo aja...” He he he, gitu kalo pake basa gaulnya.
Hari-hari selanjutnya aku sibuk mikirin nama buat anakku. Waktu sudah hampir deadline aku belum juga dapat. Acara Puputan tinggal 2 hari lagi. Aku sudah harus punya nama yang indah buat anakku. Aku pun menuju ke rumah kakak iparku yang ada di Wonosobo. Mas Karyono namanya. Dia orang seni, dan punya banyak koleksi buku-buku jawa. Di sana aku sibuk mencari kata-kata yang indah yang bisa di sematkan pada anakku. Aku pinjam beberapa buku untuk aku bawa pulang. Diantaranya adalah ”Babad Tanah Jawi”. (asal Usul Tanah Jawa)
Malem itu aku baca buku kuno yang tebal itu sambil nungguin anakku tidur. Sesekali aku melihat wajah polosnya. Manis banget. Bibirnya, matanya, hidungnya sudah kelihatan agak mancung.....tar gedhenya pasti akan banyak cewek yang suka...he he he.
Pagi-pagi istriku membangunkanku. Tenyata aku tertidur sambil memegangi buku itu. Semalem hampir selesai aku baca, dan aku sudah menemukan nama yang pas untuk anakku. Di buku itu ada nama seorang begawan, dan juga sastrawan yang mempunyai sifat-sifat sangat terpuji. Mungkin nama belakang begawan itu cocok untuk di kasihkan sebagai nama belakang anakku. Aku segera mengambil kamus bahasa jawa milik mas karyono, dan aku cari nama-nama yang cocok sebagai nama depanya. Aku tersenyum ketika menemukan sebuah kata yang bagus. Artinya pun baik. Dan yang jelas, jarang ada yang menyamain nama itu nantinya.
Aku segera ambil pena dan selembar kertas. Aku tuliskan sebuah nama di situ. Aku membacanya lagi, dan akupun tersenyum puas. Istriku datang menghampiriku, seperti biasa dengan senyum terindahnya.
”Udah dapet namanya, mas?” tanyanya padaku.
Aku cuma jawab dengan senyuman, yang tak kalah manis. Aku kasihkan kertas itu pada istriku. Dan.... istriku membacanya pelan..
”Lulut Yekti Adi.....”
Kemudian dia memandangku penuh rasa sayang. Dia percaya padaku tanpa harus menanyakan apa artinya. Kamipun berpelukan seperti teletubies...
***
Aku terdiam. Begitulah ayahku mengakhiri cerita kelahiranku. Dia menyeruput kopi originalnya, kemudian meninggalkanku seorang diri......
Langganan:
Postingan (Atom)