16 Juli 2010

BUJANG II


Sebelumnya, dalam tulisanku yang berjudul ’BUJANG’ tertulis.......


Lahir batin aku siap menikah...

Sumpah!!

Berbagai buku tentang pernikahan, tentang bagaimana jadi suami yang ideal sudah aku baca. Semua semata-mata untuk mempersiapkan mental ku. Dan sekarangpun aku sudah sangat-sangat siap menjadi suami ideal dan bertanggung jawab.

Gambaran menjadi suami, jadi imam dari istriku, gambaran tentang wanita hamil, anak kecil, rumah mungil tapi penuh kehangatan, sepertinya tiada henti menari-nari dalam setiap menjelang tidurku. Semua terasa betapa indahnya, betapa lucunya... dan itu akan terjadi beberapa saat nanti. Dalam waktu dekat ini.

Aku melihat diriku kini, betapa manis(narsis banget !!!) dan betapa miris, seorang lelaki berusia hampir 29 tahun, masih tetap aja bujang.

Tapi tenang saja, dalam waktu dekat kawan!! Sebentar lagi, di HP kalian akan muncul SMS,

”bapak ibu ku mau ”ngunduh mantu”, dateng ya, di rumahku!!!”


Sekarang usiaku sudah 29 tahun lebih 7 bulan. Dan tulisanku itu aku tulis sekitar setahun yang lalu. Tepatnya tanggal 28 April 2009. waktu itu aku masih sendiri. Masih jomblo. Jangankan calon istri, pacar saja masih belum jelas. Berbagai masalah yang hinggap pada waktu itu, seperti pertanyaan yang datang berulang-ulang ”kapan kawin?” yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa, sekarang sudah lain.

Banyak sekali yang berubah setelah satu tahun berlalu. Mungkin hanya satu yang nggak berubah, aku tetep aja manis dan masih narsis...he he he. Yang jelas, selama setaun ini banyak sekali hal yang benar-benar awal dari kehidupan masa depanku. Dan akhirnya aku harus menentukan pilihan.

Hidup ini memang sebuah pilihan. Tapi kalau kita tidak segera menentukan pilihan, itupun akan menjadi masalah. disini aku akan menulis alasan-alasan dari apa yang aku pilih.


Aku memilih menikah di tahun 2010, karena aku merasa sudah waktunya aku menikah. Dulu aku pernah punya pikiran, usia paling ideal untuk menikah adalah di usia 27 tahun. Tapi tepas saat usiaku menginjak 27, ternyata berlalu begitu saja tanpa ada tanda-tanda segera menikah. Dan lewatlah angka 27. aku pernah membaca di sebuah buku (lupa apa judul bukunya) bahwa para tokoh-tokoh besar dunia, seperti Soekarno, JFK dll, di usia 27 adalah usia dimana mereka mengambil keputusan besar yang paling berpengaruh dalam hidupnya, bahkan berpengaruh bagi dunia.


Aku berkenalan dengan seorang wanita ’tangguh’ bernama Desty Ristiani pada akhir 2008. Hanya sebatas kenal. Namun pada sekitar Juli 2009, aku mencoba mengajukan penawaran kerja sama masa depan dengannya. Dan setelah di pertimbangkan sekitar bulan Agustus kita sepakat untuk menjalin kerja sama dalam bentuk hubungan kekasih.


Setelah beberapa bulan berlalu, melalui pemikiran yang panjang, seleksi alam yang ketat, dan berbagai pertimbangan, aku mulai membulatkan tekad, memperkuat niat, dan membakar semangat (he he he, apaan sih?) aku pun menentukan pilihan, Desty- lah yang akan aku jadikan Istri. Aku jadikan Nyonya Lulut Yekti Adi, aku jadikan sandaran hati (letto) aku jadikan belahan jiwa (Kla Project - DOT) aku jadikan ’Pujaan Hati’ (Five Minutes) aku jadiakan Wonder Woman (Mulan Jameela). Yang jelas aku ajak kedua orang tuaku untuk menyatroni kediaman bapaknya di Depok untuk meminta Desty Ristiani untuk jadi pendamping hidupku.


Aku memilih Desty sebagai istriku bukan tanpa alasan yang jelas. Bukan pula karena dikejar ’Dead Line”. Jujur saja saya ungkap di sini,sebelumnya ada lah beberapa kandidat sebagai calon istri. Semua aku amati visi dan misinya, keturunanya, kualitas otaknya dan lain-lain ..dalam bahasa jawa bobot,bibit,bebetnya....(cieee segitunya). Dengan seleksi yang ketat seketat celana bersepeda, akhirnya aku memilih yang berkualitas terbaik. Sebenernya pada intinya adalah, ”yang mau menerima keadaanku apa adanya, sepaket dengan keluargaku dan masa laluku”. Desty juga siap menjadi istri yang selalu nurut pada suami. Jadi terpilihlah dia sebagai istriku. Dan jang jelas aku nyaman menjalani semua dengan dia. nyaman banget malah.


Setelah acara lamaran dan menentukan hari, akupun menyiapkan segalanya. Aku memilih bulan Juli sebagai bulan baiknya, dan tanggal 5 sebagai hari baiknya. Maka untuk mas kawin saya menentukan uang sebesar Rp. 572.010,-. Sesuai tanggal,bulan dan tahun pernikahan. Yang jadi masalah sampe H-1, aku belum menemukan uang pecahan 10 rupiah. Sempet setres banget waktu itu. Tapi untungnya dapet juga.


Hari itu, hari Senin tepat tanggal 5 Juli 2010, jam 10.00 WID (waktu Indonesia bagian Depok), dengan menggenggam tangan bapak Ismail Rahman (bapaknya Desty) terucaplah ”saya terima nikah dan kwinnya, Desty Ristiani binti Ismail Rahman, dengan maskawin tersebut dibayar tunai !!!” . Lega sekali rasanya. Aku sudah jadi suami..... aku sudah bukan Bujang lagi !!


Acara yang di gelar di depok sangat simple, dan sederhana. Disitu tidak di temukan janur kuning, kursi pelaminan, buku tamu, orjen tunggal dll. Sesuai sekali dengan harapanku. Dari dulu aku pengen sebuah acara pernikahan yang simple. Yang hadirpun hanya terbatas keluarga dan orang-orang terdekat yang memang bisa hadir.


Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, aku dan juga Desty Ristiani istriku memohon berjuta-juta maaf dari teman, sahabat, dan saudara semua. Bukan ada maksud untuk melupakan kalian, sehingga tidak bisa memberi kabar atau mengundang untuk hadir dalam acara pernikahan. Semua semata-mata karena kami tidak ingin merepotkan, karena acara dilangsungkan dengan sederhana dan di laksanakan pada hari Senin. Kami berdua juga mengucapkan bermiliar-miliar terima kasih untuk doa dari teman-teman semua baik yang melaui Facebook maupun sms. Semoga doa kalian semua di kabulkan Allah, dan pahala yang terbaik juga menyertai kalian.


Saat ini aku menikmati sekali menjadi suami. Suami dari Desty Ristiani. Untuk sekarang dan selamanya. Alhamdulillah masa remaja sebagai BUJANG itu akhirnya berakhir sudah.


Terima kasih Allah, terima kasih Desty, kamu mau menjadi penerang dalam ”gelap malamku”